Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, ia bertemu dengan dewa berambut panjang, seperti anak kecil bermain-main di atas laut, bernama Dewa Ruci. Lalu ia berbicara :"Sena apa kerjamu, apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada tak ada yang dapat di makan, tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering yang tertiup angin, jatuh didepanku, itu yang saya makan". Dikatakan pula :"Wahai Wrekudara, segera datang ke sini, banyak rintangannya, jika tidak mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, segalanya serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang benar, disini tidak mungkin ditemukan". "Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang Brama asal dari para raja, ayahmu pun keturunan dari Brama, menyebarkan para raja, ibumu Dewi Kunthi, yang memiliki keturunan, yaitu sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai penengah adalah Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari air Penghidupan berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya", lanjut Dewa Ruci. Kemudian dikatakan :"Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas kuning dikira emas mulia. Demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang harus disembah". Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan "Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku", kata Dewa Ruci. Sambil tertawa sena bertanya :"Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk".Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih:"besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku". Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri. Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati. Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci:"Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati. Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia. Lalu Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu ?! Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat. Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya, Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani. Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah. Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab. Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya. Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh menyombongkan diri, hayati dengan sungguh-sungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun jika ditemui ajaran misalnya kacang kedelai disebar di bebatuan tanpa tanah tentu tidak akan dapat tumbuh, maka jika manusia bijaksana, tinggalkan dan hilangkan, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara. Hyang Luhur menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, sudah menjadi diri sendiri, dimana setiap gerak tentu juga merupakan kehendak manusia, terkabul itu namanya, akan segala keinginan, semua sudah ada pada manusia, semua jagad ini karena diri manusia, dalam segala janji janganlah ingkar. Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah. Yang terbaik, untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu juga. Badan hanya sekedar melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju pada nafsu. Wrekudara setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci :"Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan. Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak bingung dan semua sudah dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya, hilanglah kekalutan hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna dari mata, Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang tingkah para Pertapa yang berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh penerapannya, seperti mengharapkan kemuliaan, namun akhirnya tersesat dan terjerumus. Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian seolah dipaksakan, melalui kepertapaannya, mengira dapat mencapai kesempurnaan dengan cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru, mengosongkanan pikiran, belum tentu akan mendapatkan petunjuk yang nyata. Tingkah seenaknya, bertapa dengan merusak tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan gagallah bertapanya itu. Guru yang benar, mengangkat murid/cantrik, jika memberi ajaran tidak jauh tempat duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh. Inilah keutamaan bagi keduanya. Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang, berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan layarnya alam yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan oleh Dalang, disuarakan bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang berada dibalik layar, bagaikan api dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah asal mulanya, semuanya yang tergetar, oleh perlindungan jati manusia, yang yang kemudian sebagai rahasia. Kembali ke Negeri Ngamarta Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya Wrekudara kemudian pulang dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling hatinya, tidak asing bagi dirinya, sewujud dan sejiwa, dalam kenyataan ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi kesatriaannya. Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini, memang tidak kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu, seumpama suatu bentukan, itulah perjalanannya. Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul para saudaranya bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian Sena, cara masuk dasar samudera. Maka disambutlah ia, dan saat ditanya oleh Prabu Yudistira mengenai perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya itu dicurangi, ada dewa yang memberi tahu kepadanya, bahwa di lautan itu sepi,tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata :"Adikku ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi ini". Sampai disini cerita singkat tentang Dewa Ruci. |